Cerpen Pendidikan "Gelap Terang"



GELAP TERANG

Namaku Ita Mutiara. Aku adalah anak tunggal dari pasangan Tejo dan Surti yang sekarang masih duduk di kelas XI SMA PGRI 2 Kayen. Teman-temanku di sekolahan sering memanggilku dengan sebutan “Imut,” bukan karena wajahku yang imut atau singkatan dari nama lengkapku melainkan itu hinaan yang kepanjangannya “Item Mutlak.” Yach...aku tak pernah merasa sakit hati dengan panggilan itu. Aku memang berkulit hitam, bahkan terlalu hitam untuk ukuran gadis Indonesia usia SMA. Akupun tak pernah mengeluh karena hitam itu juga anugerah.

Di sekolah, aku hanya punya satu teman yang sangat akrab denganku, namanya Osin. Dia gadis yang bisa dibilang cantik, tidak hitam seperti aku dan pastinya biarpun dia keturunan Cina, tapi dia sangat baik padaku. Aku heran dengannya, di saat siswa-siswa yang lain menjauh dariku hanya karena fisikku yang kurang cantik, dia malah dengan senang hati mendekat tuk menjadi sahabatku. Kadang aku pun berpikir apakah salah jika aku dilahirkan dengan tubuh yang berkulit hitam? Aku kan juga anak negeri ini, tak sepantasnya aku dipinggirkan oleh orang di sekelilingku...!!! Mengapa justru orang keturunan Cina yang menjadi sahabat baikku. Osin selalu menenangkan perasaanku akan pertanyaan itu. Menurutnya, orang itu dinilai bukan dari fisik, tapi hatinya. “Kulitmu memang hitam, tapi hatimu putih...itulah teman yang kubutuhkan”, katanya padaku. Aku sangat lega dengan jawaban itu, kenapa semua orang tidak memiliki pikiran yang sama seperti Osin, aku pasti punya banyak teman.

Selanjutnya, aku juga punya teman sekelas yang sangat cantik, putih, bersih bahkan menurutku dia seperti artis “Bunga Citra Lestari”, namanya Rini. Dia dari keluarga yang bisa dibilang kaya, namun hati dan pikirannya tak sekaya atau secantik dirinya. Dia salah satu siswa yang paling jijik denganku bahkan seakan-akan aku ini seperti kuman yang tak pantas tuk didekati. Dia yang paling anti terhadapku, tak hanya di dalam kelas tetapi juga ketika di luar kelas. Segala apa yang menjadi pendapatku pasti selalu dibantah olehnya meskipun pendapatku tak salah. Aku ingin menunjukkan padanya, aku tak seburuk yang ada di pikirannya, aku pun pantas tuk menjadi temannya.

Yach...besok adalah peringatan Sumpah Pemuda. Di sekolahku diadakan Lomba Keteladanan Pelajar. Aku, Osin, dan Rini merupakan peserta dari lomba tersebut. Bisa dibayangkan kan bagaimana sikapnya terhadapku.

"Hai Imut....apa Kamu beneran ikut lomba ini? Pa kamu gak nyadar, Pelajar Indonesia kan cantik, tampan, pintar dan tidak berkulit gelap gulita kayak kamu gitu. Daripada malu karena kalah mendingan gak usah ikut aja,” ucapnya padaku yang didengar oleh semua teman sekelas.

Aku memang tak secantik Rini yang mungkin pantas tuk diteladani teman-teman, tapi yang ada di benakku keteladanan bukanlah dari segi penampilan, tapi dari segi sikap dan perilakunya sehari-hari, seperti apa yang pernah dikatakan Osin padaku. Hal itulah yang membesarkan hatiku untuk mengikuti lomba ini.

Hari perlombaan pun tiba, dari 30 peserta yang ikut perlombaan diseleksi melalui tes akademik untuk menjadi 3 peserta yang pantas ke babak final. Ketika diumumkan siapa yang masuk final, hatiku pun dag..dig..dug menantinya. Kulihat lembaran kertas yang ditempel di mading sekolah yang berisi nama siswa yang lolos. Di tengah kerumunan siswa lain, kulihat nama Rini, Osin, dan Ita Mutiara. Yach...seketika itu pula aku berteriak keras karena namaku ada dalam lembaran tersebut. Tentu saja itu membuat Rini semakin syirik padaku dan makin gencar mengejekku.

Ketiga peserta pun dikumpulkan tuk diseleksi menjadi yang terbaik. Dalam seleksi ini, juri hanya memberikan satu pertanyaan untuk ketiga peserta, yakni “Bagaimana sikap kalian tentang adanya perbedaan suku, adat, ras, dan agama (SARA) yang sekarang ini mulai merambah dilingkungan sekitar kita?”
Sejenak kami pun mulai diberi waktu tuk berpikir sebelum menjawabnya secara lisan.
Osin : Menurut saya, perbedaan itu bukanlah hal harus kita tanggapi dengan serius karena pada dasarnya kita adalah makhluk Tuhan yang sama dihadapan-Nya.
Rini  : Kalau menurut saya, perbedaan itu harus disamakan karena kita akan susah hidup dilingkungan yang tidak kita sukai. Pastinya saya sendiri juga akan susah jika harus berbagi dengan orang yang berbeda suku, agama, atau bahkan yang berbeda kulit sekalipun.
Ita     : Menurut saya, perbedaan itu merupakan wujud keanekaragaman kekayaan negara kita. Perbedaan itu tidak bisa kita paksa untuk menjadi sama karena setiap orang memiliki sifat yang berbeda. Sebagai makhluk sosial, kita juga tidak bisa hidup sendiri. Untuk itu, kita harus bisa saling menghormati antarsesama agar perbedaan itu tidak menjadi perpecahan, justru menjadi persatuan untuk Indonesia tercinta ini. Lagipula dihadapan Tuhan, kita adalah makhluk yang sama, tak ada yang lebih baik dari yang lain.

Prok..prok..prok...riuhnya suara tepuk tangan juri terhadap jawabanku membuat aku semakin percaya diri. Selanjutnya kami pun diminta keluar sebentar sembari dewan juri mendiskusikan siapa yang pantas menjadi juara.

Lima menit aku menunggu di luar ruangan dengan segala ejekan Rini yang seakan menjatuhkanku. Tak seperti Rini, Osin justru sangat bangga dengan jawabanku tadi.
“Mungkin kamulah yang akan jadi juaranya”, bisik Osin padaku.
“Eh Imut..item mutlak, pa gak sebaiknya kamu pulang ja...kamu gak bakalan menang kok. Ngaca dulu kalo pengin menang....hahahaha,” ejek Rini berkali-kali.

Dewan juri pun memanggil kami bertiga untuk memutuskan pemenangnya. Jantungku semakin dag..dig..dug gak karuan. Selanjutnya dewan juri berkata: “Berdasarkan hasil tes akademik dan tes lisan untuk mengetahui sikap dan perilaku, dengan ini dewan juri memutuskan bahwa pemenang dalam Lomba Keteladanan Pelajar diraih oleeehhhh Ita Muuutttiiiaaarrraaaaa.”

Seketika itu pula aku bersujud syukur, kutunjukkan pada Rini aku tak seburuk olok-olokannya, aku pun bisa tuk diteladani. Rini yang semakin jengkel dengan putusan itu pun terlihat tidak terima.

“Lho Pak, kok Si Item Mutlak ini yang menang, dia kan tak pantas diteladani. Lihat aja penampilannya sudah jelek, item lagi, apa yang seperti ini pantas dicontoh?” protes Rini pada dewan juri.

Mendengar protes Rini, dewan juri pun tertawa sambil berkata “Gini lho Mbak, dihadapan kami wajah itu nomor yang ke sekian, yang utama adalah prestasi dan sikap atau perilakunya sehari-hari. Sebagai dewan juri yang sekaligus guru kalian, saya sering mengamati kalian. Saya tahu kalau kamu sangat tidak suka dengan Ita, tapi cobalah belajar dari dia.”

Mendengar perkataan itu, Rini merasa semakin diinjak-injak oleh Ita. Dia tidak terima kalau dikalahkan oleh Ita, anak yang selalu dia ejek, hina, bahkan dikucilkan ini. Dengan perasaan jengkel dan marah, Rini berlari mengambil tasnya. Tatapannya tertuju pada gerbang sekolah. Merasa dipermalukan, Rini pun buru-buru pulang. Dia berjalan sambil menggerutu atas keputusan dewan juri yang dianggapnya tidak bijak. Tanpa memperhatikan kanan kirinya, Rini menyeberang begitu saja di jalan depan sekolah. Sepeda motor yang melintas kencang pun menyerempetnya hingga dia jatuh terguling-guling di pinggir jalan dekat sekolah. Tubuhnya mengeluarkan banyak darah. Serentak Ita dan siswa yang lain pun panik dan menolong membawanya ke rumah sakit terdekat di Daerah Kayen.

Dokter yang menanganinya pun keluar dari ruangan. “Bagaimana Dok keadaan teman saya?” tanya Ita.

“Keadaannya lumayan parah Mbak, pasien kehilangan banyak darah. Kami butuh orang yang bergolongan darah A karena stok darah di tempat kami sedang kosong. Silakan Mbak cari orang tersebut yang bersedia mendonorkan darahnya. Kebetulan Dok, golongan darah saya juga A. Saya siap mendonorkan darah saya asal teman saya bisa diselamatkan. Baiklah kalau begitu, mari kita menuju ruangan untuk transfusi darah,” ajak Dokter.

Rini memang bukan sahabat terbaikku bahkan dia tidak pernah berperilaku baik padaku, tapi bagaimanapun juga dia adalah temanku. Aku tak ingin bersikap egois dan aku harap darah ini bisa menyelamatkannya, ucapku dalam hati sambil menahan tusukan jarum dilenganku.

Keesokan harinya, Rini pun sadar dari pingsannya. Dokter menceritakan segala yang menimpanya dan orang yang mendonorkan darah untuknya. Mendengar bahwa Ita yang menyelamatkan nyawanya, seketika itu pun dia menangis. Dia tidak menyangka bahwa orang yang tidak dia sukai, yang selalu diejek bahkan dicaci maki olehnya malah yang dengan ikhlas mendonorkan darah untuknya. Ia sadar, tak sepantasnya ia berperilaku seperti itu pada Ita.

Saat Rini sudah mulai masuk sekolah, dengan kepala menunduk dia menghampiri Ita.  Dia memeluknya sambil menangis dan meminta maaf.

“Ita, maafin aku ya. Aku terlalu sering jahat padamu, aku sering mengejekmu bahkan menjauhimu. Aku sadar itu semua salah. Kamu teman yang sangat baik, kamu memang pantas untuk diteladani.” Mendengar perkataan Rini, Ita pun tak kuasa membendung air matanya. Dipeluknya Rini sambil berkata “Ya, itu semua sudah aku maafkan dari dulu karena sejak dulu kamu adalah temanku. Perbedaan yang ada pada diri kita harusnya tidak jadi jurang pemisah persahabatan kita.”

Mulai saat itu, mereka pun menjadi sahabat. Tak ada lagi perbedaan fisik ataupun status sosial, tak ada lagi panggilan Imut alias Item Mutlak. Kita semua adalah putra-putri Indonesia, tak sepantasnya kita terpecah hanya karena perbedaan suku, ras, agama ataupun warna kulit karena itu adalah keanekaragaman kekayaan kita yang harusnya kita jaga bersama, bukan tuk dibeda-bedakan.


******TAMAT******
Previous
This is the oldest page
Thanks for your comment